Pages

Selasa, 18 Mei 2010

Ambulans dengan Pasien Jantung Jangan Ngebut-ngebut


Seoul,
Ambulans biasanya melaju dengan kecepatan penuh agar segera tiba di rumah sakit dan dapat menyelamatkan nyawa pasien. Tetapi ambulans yang membawa pasien jantung sebaiknya mengurangi kecepatan, karena kecepatan tinggi justru berbahaya bagi si pasien.

Hal ini disampaikan oleh para dokter di Korea. Ambulans yang mengangkut pasien yang menerima Resusitasi Jantung Paru atau Cardiopulmonary Resuscitation (CPR), yaitu prosedur kegawatdaruratan medis yang ditujukan untuk serangan jantung, harus mengurangi kecepatannya.

Dengan menggunakan model komputer yang disebut Resusci Anne, para peneliti memantau kinerja teknisi medis darurat, lampu, suara sirene dan kecepatan ambulans.

Didapatkan bahwa ada peningkatan kedalaman dan penekanan pada dada. Tapi yang membuat peneliti lebih khawatir adalah teknisi medis darurat cenderung kurang menggunakan CPR bila ambulans melaju dengan kecepatan penuh, dan ini justru berbahaya bagi pasien serangan jantung.

Alasan teknisi medis darurat lepas tangan tidak jelas. Tetapi selama ini tidak ada darah yang dipompa ke dalam tubuh pada saat pasien mengalami serangan jantung dan diangkut dengan menggunakan ambulans, sehingga otak dan organ vital lainnya 'kelaparan' oksigen.

"Pada kecepatan 60 kilometer per jam atau lebih cepat lagi, maka tidak ada aliran darah tambahan dalam beberapa detik, dibandingkan dengan kecepatan 30 kilometer per jam, atau lebih lambat lagi," ujar Dr Tae Nyoung Chung, seorang dokter darurat di Yonsei University College of Medicine di Seoul, Korea, yang memimpin penelitian, seperti dilansir dari Reuters, Selasa (18/5/2010).

Dr Chung juga menuturkan bahwa yang ia sampaikan itu bila ambulans melaju pada jalan lurus tanpa dihalangi lampu atau kemacetan lalu lintas.

Tapi pada kenyataannya, tikungan tajam, jalan bergelombang dan kemacetan mungkin akan memperbesar efek pada pasien.

Berdasarkan temuan yang diterbitkan dalam jurnal Resuscitation ini, mungkin ada batas kecepatan antara 30 km per jam dan 60 km per jam, yang tidak meningkatkan porsi lepas tangannya teknisi medis darurat dengan tetap menjaga kecepatan ambulans.

Tingkat kecepatan ini dapat direkomendasikan sebagai batas kecepatan untuk transportasi ambulans dengan CPR yang sedang berlangsung.

Tapi Dr Dana Edelson, Ketua Asosiasi Komite CPR di University of Chicago, memberi peringatan sebelum ambulans mulai mengurangi kecepatannya. Menurutnya, CPR masih penting untuk kelangsungan hidup, dan ia mencatat bahwa efek yang ditemukan dalam penelitian ini 'sangat kecil'.

"Kerugian dari perlambatan ambulans adalah diperlukan waktu lebih lama untuk sampai ke rumah sakit. Kita harus mencari cara lain untuk meningkatkan kualitas CPR," tambah Dr Edelson.

Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas yang direkomendasikan oleh American Heart Association adalah agar teknisi medis darurat dapat melakukan resusitasi dimana pun pasien membutuhkan, termasuk pada saat harus melarikan pasien ke rumah sakit dalam ambulans yang berkecepatan tinggi.

Para ahli mengatakan itu adalah praktik umum di Korea dan Amerika Serikat. Sebagai contoh, beberapa pasien terkena serangan jantung selama transportasi, dan lainnya mungkin tidak merespon CPR pada saat awal.

"Sementara beberapa pelayanan darurat menjalankan ambulans dengan kecepatan sedang ketika teknisi medis darurat melakukan penekanan dada, saat ini belum ada pedoman formal," ujar Jerry Johnston, seorang paramedis dan mantan presiden dari National Association of Emergency Medical Technicians.

Johnston menambahkan sekarang rekomendasi menyeluruh adalah bahwa orang yang mengemudi ambulans harus benar-benar sadar untuk membuat perjalanan mulus agar CPR berkualitas dapat dilakukan oleh teknisi medis darurat.

Sumber : http://health.detik.com/read/2010/05/18/130442/1359144/763/ambulans-dengan-pasien-jantung-jangan-ngebut-ngebut?993306755